Berawal dari saling melihat, lalu tertarik untuk saling mengenal namun tidak ada ruang dan waktu yang pas untuk saling memulai. Sampai pada suatu ketika Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk saling sapa.
“Eh, coba liatin dong... Tembus nggak?” tanyanya saat itu sambil menunjukkan bagian belakangnya kepadaku.
“Nggak kok. Lagipula training kamu warnanya gelap jadinya nggak keliatan juga.” jawabku sekenanya.
Lalu kita saling diam. Kalau tidak salah ingat, aku melanjutkan makan siang yang sempat tertunda sedangkan kamu duduk terpaku di bangku tanpa melakukan aktivitas apapun setahuku. Daaaan percakapan diantara kita pun kembali terjadi.
Masih ingat nggak?
Yah, mungkin percakapannya tidak bisa dilampirkan, namun berawal dari situlah persahabatan kita dimulai.
Awalnya kita tidak cocok namun entah kenapa aku hanya percaya dan respek kepada kamu. Hal itu ketika kenaikan kelas, kita sepakat untuk duduk sebangku. Senang? Yaaaa, sangat!
Namun, persahabatan kita harus diuji dengan berbagai macam cobaan. Dimulai dari naksirnya pacar aku (sekarang mantan.red.) sama kamu. Terus sifat aku yang suka marah-marah nggak jelas dan semua itu karena aku. Terus kita pernah nggak cakapan selama satu minggu karena kamu capek ajak bicara aku tapinya aku selalu menanggapi dengan dingin dan tanpa balasan.
Kamu tau, saat kamu memutuskan untuk tidak lagi mengajakku berbicara saat aku marah itu, aku sedih sekali. Dan itu ternyata balasan yang Tuhan kasih buat aku supaya aku bisa lebih menjaga perasaan kamu sebagai sahabat aku.
Dan kebersamaan kita masih ada sampai kita tamat sekolah menengah pertama.
Ada rasa bahagia namun juga ada rasa sedih.
Bahagianya karena kita bukan lagi bocah SMP. Tapi kita udah jadi bocah SMA.
Sedihnya karena ternyata kita nggak satu SMA lagi. Nggak bisa duduk sebangku lagi, nggak bisa ketawa bareng lagi, nggak bisa ke kantin bareng lagi dan nggak bisa ngobrol tentang “sesuatu” yang hanya kita yang tau saat belajar.
Kesedihan itu sempat terobati karena aku sering kesekolah kamu. Yah, sekalian ketemu dengan teman-teman yang lain juga. Namun, rasa sedih itu harus bertambah dalam saat aku dengar dari kamu sendiri bahwa kamu punya geng baru. Aku cemburu sebagai sahabat kamu. Karena rahasia kamu tidak lagi milik aku, tapi sudah milik mereka. Tidak hanya itu, saat kamu punya “sesuatu” yang ingin dibagi, bukan aku lagi orang pertama yang mengetahuinya, tapi mereka yang ada didekat kamu.
Namun, bukan sahabat namanya jika aku selalu bersikap seperti itu. Alhamdulillah aku bisa bersikap lebih baik dan alhamdulillah aku punya seseorang selain kamu di sekolahku. Yah, anggap aja kita impas. Hehhee...
Terlepas dari itu, aku merasa bersyukur sekali karena persahabatan kita tidak pudar hingga detik ini. Walau kita tidak lagi selalu bersama-sama, namun kita tetap bersama dalam kenangan. Ketika kita tidak lagi satu SMA pun, komunikasi yang kita jalin tetap ada. Ketika kita tidak lagi satu perguruan negeri dan tidak lagi satu kota, komunikasi yang kita jalin tetap ada. Alhamdulillah tidak terputus oleh jarak.
Kenapa bisa begitu?
Karena persahabatan kita didasari oleh keikhlasan untuk saling percaya terhadap kelebihan dan kelemahan yang kita miliki. Selain itu, karena kita bangun persahabatan ini dengan rasa jujur. Selain itu bagi kita persahabatan tidak hanya saling memiliki tapi juga melengkapi.
Terima kasih sahabatku atas segalanya.
Sudah 7 tahun kita membina hubungan ini. Doaku semoga persahabatan kita tidak putus karena hal yang tidak begitu penting. Dan semoga persahabatan kita langgeng sampai akhir hayat nanti.
Sahabatku, semoga juga kamu bahagia atas pilihan kamu untuk menjadi seorang muslimah yang sesungguhnya. Ketika kamu menikmati kebahagiaan yang diberikan-Nya, maka Tuhan akan menambah kebahagiaan itu lagi.
Tolong limpahkan juga kebahagiaan itu kepadaku agar kita tidak lagi merasakan kesedihan.
Cerita ini kupersembahkan untuk sahabatku, Qodri.
J
J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar