Rabu, 01 Juni 2011

Untuk Ibuku


Melalui tulisan ini, kutuliskan beberapa kata untuk mengungkapkan betapa rindunya aku padamu.
Melalui tulisan ini, kuungkapkan beberapa perasaan untuk menrefleksikan harapan.
Melalui tulisan ini, kuingin Ibu tahu bahwa saat ini aku membutuhkanmu.
Ibu, airmata ini jatuh saat kuingat semua pengorbananmu.
Dimulai saat kau mulai menerima kehadiranku di perut indahmu.
Kau izinkan aku mengoyak siluet tubuh langsingmu.
Kau izinkan aku memberikan bentuk tubuh yang tidak bagus pada tampilanmu.
Kau izinkan aku merusak kenyamanan tidurmu.
Ibu, airmata ini jatuh lagi saat kuingat bahagianya dirimu menyambut kehadiranku kedunia.
Rasa sakit saat kau berjuang untukku.
Antara hidup dan mati, kau berada diantaranya.
Ibu, airmataku kembali jatuh.
Saat kau mengeluarkan airmata untukku.
Menjagaku setiap malam, mengurusku hingga ku dewasa.
Ibu, kini ku tak sanggup lagi mengeluarkan airmata.
Perih ibu.
Saat jauh darimu, kusadar bahwa semua nasehatmu dulu begitu berharga.
Ibu, aku rindu padamu.
Pada senyumanmu.
Pada kehangatamu.
Pada kelembutanmu.
Ibu, do’amu telah kuterima.


Masa Lalu itu hanya masa lalu


Seseorang pernah berkata padaku, “Jangan mau jadi yang kedua jika kamu bisa jadi yang pertama. Karena jadi yang kedua itu sangat tidak menyenangkan.”
Aku hanya bisa terdiam dan merenungi apa yang pernah dia ucapkan padaku. Hanya bisa melihat kejadian yang telah terjadi dengan buliran airmata yang tak kunjung berhenti. Kadung nasi sudah jadi bubur. Masa lalu sudah lewat tapi aku belum bisa melupakannya dengan begitu saja. Rasa sakit dan pengkhianatan ini tak serta merta lenyap begitu saja. Sungguh! Dia begitu tega melakukan hal seperti itu padaku.
“Kamu itu cantik! Ingat itu. Maka dari itu, jangan lagi kamu mikirin dia. Cowok itu nggak Cuma dia! Banyak tuh cowok di luar sana. Kamu tinggal buka hati kamu dan kamu lihat pake hati kamu bukan pake mata. Karena hati bisa melihat apa yang tidak terlihat oleh mata.”
“Mudah bilang begitu. Tapi nyatanya susah banget! Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain.”
Dia mendengus pelan, “Huh, lebih dari ini pun aku pernah ngalamin, sob. Kamu aja nggak pernah ada buat aku saat aku pengen cerita.”
“Masa lalu itu pahit banget kalo harus aku ingat dan aku buka kembali. Tapi demi kamu, demi temanku, demi sahabatku, akan aku buka satu persatu agar kamu tau dan kamu paham bahwa dia bukanlah segalanya selama cincin belum melingkar di jari tangan kita.”
“Dulu aku mengira dia adalah seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Seseorang yang akan selalu menemaniku dalam suka maupun duka. Seseorang yang akan mampu membuatku tersenyum. Seseorang yang akan mampu menghapus airmataku saat aku terjatuh. Seseorang yang akan mendampingiku hingga akhir hayatku. Namun kenyataannya tidak seindah perkiraanku, teman. Dia mengkhianatiku. Menduakanku dan meninggalkanku. Dia tidak mengucapkan selamat tinggal padaku namun dia langsung mencampakkanku. Dia mengganggapku tak pernah ada dalam hidupnya. Seolah-olah kami tidak saling mengenal. Tidak hanya itu, dia juga telah berhasil menguasai alam bawah sadarku bahwa hanya aku yang ada dihatinya. Tidak ada yang lain. Kamu tahu, disaat aku telah mempercayainya, disaat itulah dia berulah. Dia menanggalkan kepercayaan yang telah aku berikan. Dia berpaling namun dia tidak mengakuinya. Padahal hubungan kami baik-baik saja. Tiada rasa curiga apalagi rasa marah. Namun ternyata oh ternyata inilah pangkal semuanya. Kamu sih seharusnya bersyukur karena dia masih mau bilang kalau dia mau selingkuh. Berarti dia jujur hanya saja dia nggak sanggup setia. Dia juga masih anggap kamu. Masih ada sms kamu dan yang enaknya dia mau mengakui kesalahannya dan minta maaf sama kamu. Kalau mantan aku itu, mana ada minta maaf. Ngaku aja nggak apalagi minta maaf. Kiamat kali...”
“Tapi, kamu nggak ketemu sama dia lagi kan? Aku harus jumpa dia setiap saat, Na. Sakit banget rasanya lihat mereka selalu bersama. Dulu dia dengan aku, sekarang dia dengan orang lain. Dan yang bikin aku nggak terima, ‘orang lain’ itu bukan siapa-siapa, bukannya aku nggak kenal. Teman aku sendiri, Na. Kamu bisa bayangin?”
Dia tertawa terbahak-bahak sampai airmatanya mengalir begitu saja.
“Mantan aku emang nggak selingkuh dengan orang yang aku kenal. Untungnya dia pacaran dengan orang yang nggak aku kenal.”
Aku tertegun ketika mendengar ceritanya dan mendengus marah.
“Lalu, kenapa seolah-olah kamu sakit banget padahal mantan kamu itu selingkuhnya bukan dengan orang yang kamu kenal? Sakitan aku seharusnya...”
“Mantan aku emang nggak selingkuh dengan orang yang aku kenal. Tapi mantan aku itu adalah orang yang sangat aku kenal.” Jawabnya pelan.
“Maksud kamu?” tanyaku bingung.
Dia terdiam sejenak. Keningnya mengerut seketika. Mulutnya pun manyun.
“Dia itu abang sepupu gue. Gue sama dia udah sama-sama dari kecil. Dan kamu bisa bayangin gimana sakitnya saat aku udah percaya dengan kata-katanya namun dia berkhianat dan setelah itu dia akan menikah dengan pilihannya kelak? Bisa nggak kamu bayangin aku harus lihat pernikahan dia dan aku akan ketemu dia dan istrinya juga anak-anaknya (yang notabene akan jadi keluarga aku juga) saat ada acara keluarga seperti lebaran atau pesta saudara?”
“Tapi aku percaya, seseorang yang merebut hak orang lain, maka hak dia juga akan direbut oleh orang lain. Suatu hari. Itu janjiku pada alam. Tidak hanya itu. Aku juga telah bertemu dengan seseorang yang berjiwa besar saat ia mengalami kedukaan yang mendalam. Seseorang yang mengajarkan aku arti dari kehidupan dan cinta. Seseorang yang berhasil membuka mata dan hatiku bahwa tidak hanya dia yang ada di dunia ini.
Seseorang itu pernah berkata, “Kamu ingat nggak bahwa ada orang-orang selalu sayang sama kamu tanpa pamrih dan mereka tidak akan pernah mengkhianati kamu walau ada kamu-kamu yang lain yang lebih indah diluaran sana?”
“Orang-orang itu adalah Ayah kamu. Ibu kamu. Adik-adik kamu, teman-teman kamu dan juga sahabat-sahabat kamu. Masa hanya karena dia yang satu orang itu kamu jadi seperti ini? Selalu menangis untuk sesuatu yang telah terjadi. Meratapi seolah hanya dia yang sangat berarti dalam hidup kamu. Dia bukan jodoh kamu saat ini. Dia tidak baik untuk kamu. Karena kalau dia baik, dia tidak akan menyakiti kamu dalam bentuk apapun. MOVE ON, Na! Jangan mau jadi budak cinta! Bangkit! Cinta sejati kamu masih ada di luar sana yang kamu belum tahu dimana posisinya. Tugas kamu sekarang, kamu harus bisa bangkit dan melihat orang-orang disekeliling kamu dengan senyuman dan yakin bahwa “Aku akan membahagiakan mereka tanpa membuat mereka menangis”
“Dan dari situ aku percaya bahwa Tuhan tidak tidur. Tuhan itu Maha Adil. Bisa saja dia bukan yang terbaik bagiku saat ini. Dan yang terbaik menurut Tuhan adalah aku harus putus dengannya walau jalan yang harus dilewati sangat tidak menyenangkan. Karena masa lalu hanyalah masa lalu yang nggak perlu lama-lama dikenang. Cukup diingat dan dipahami aja apakah kenangan itu indah atau menyakitkan? Lihat dengan hati bukan dengan mata.”
“Lalu apa hubungannya jangan jadi yang kedua dengan yang pertama?”
“Hmm.. karena sampai kapanpun yang pertama itu akan selalu ada dihati. Tidak akan lekang oleh waktu. Karena yang pertama itu akan meninggalkan kesan baik yang positif ataupun yang negatif. Karena yang pertama itu akan tetap jadi yang pertama walau nggak selamanya yang pertama itu akan selalu jadi yang utama. Yah, minimal saat kita telah menjadi yang pertama bagi siapapun kita tetap diingatnya.”
“Kalau dia nggak ingat gimana?”
“Pasti dia ingat. Sebagaimana kita ingat dia. Seperti itu pula dia akan mengingat kita.”
“Teman, satu yang harus kamu ingat dan pahami. Tuhan telah mencatat segalanya saat kita masih berada dalam kandungan. Apapun kejadiannya, itu sudah tertulis sesuai dengan kesepakatan kita dengan Dia. Suka tidak suka. Senang tidak senang. Bahagia tidak bahagia. Tuhan itu tidak pernah membiarkan hamba-Nya sedih. Setiap kejadian yang kita alami pasti ada kebahagiaannya yang bernilai tinggi dua kali lipat. Nah, sekarang tergantung kita bagaimana kita bisa menggapai kebahagiaan itu sebagai ganti menghilangkan rasa kesedihan lalu. Kamu boleh terima cerita ini. Kamu juga boleh tidak terima cerita ini. Karena bisa jadi cara kita memandang persoalan berbeda.”