Kamis, 28 Juni 2012


            Bukan perkara mudah bagi seorang gadis seusia Minah untuk menghadapi segala peristiwa yang telah ia lalui dalam setahun ini. Begitu banyak halangan dan rintangan yang mesti ia lewati. Perjuangannya untuk mempertahankan janin dalam kandungannya justru membuat ia terlempar dari kehidupannya yang dulu serba ada. Ayah dan Ibunya tidak lagi mengakuinya sebagai anak. Tidak hanya kedua orang tuanya yang tidak lagi mengakui dirinya, bahkan seluruh keluarga besarnya pun turut andil mencampakkannya di jalanan. Bagi mereka tiada ampun untuk orang yang telah mencemarkan nama baik keluarga mereka. Selain itu, masyarakat yang mengetahui Minah tengah berbadan dua langsung menggunjing kesesama tetangga. Saling menceritakan dan merendahkan. Tak urung masyarakat juga melakukan sikap diskriminatif kepada Minah dengan cara anak-anak mereka tidak boleh berteman lagi dengan Minah. Minah merasa seperti tiada lagi berharga. Tiada lagi dukungan dari keluarga apalagi masyarakat. Baginya tidak masalah apabila masyarakat memusuhinya atau menjauhinya, asalkan kedua orang tuanya menerima dan membantunya dalam menghadapi situsai ini. Namun apa lacur, jangankan mengharapkan bantuan dari mereka, untuk mendengar kejadian yang sebenarnya pun mereka enggan. Minah langsung ditampar, dipukul bak maling dan diusir oleh kedua orang tuanya sendiri. Minah merasa dirinya berada dalam titik nadir.
            “Dasar Kau! Anak tidak tau adat! Enyah kau dari rumahku!!!” bentak Sang Ayah sesaat setelah memukulnya. Minah memohon ampun seraya berlutut dikaki ayahnya. Namun apa lacur, sang Ayah langsung menghempaskan tangan Minah sehingga ia terjungkal ke lantai.
            “Ayah, maafkan Minah...” lirihnya sembari mengusap buliran airmata yang jatuh membasahi pipinya. Sesaat Minah menatap ibunya yang sesenggukan menangis berdiri disamping Ayahnya.
            “Bu, Minah... Minah, maafkan Minah” Minah berlari memeluk ibunya namun sang ibu langsung menangkis tangan Minah. Ibunya tidak sanggup berkata apa-apa. Baginya harga diri sebagai seorang ibu telah hancur. Anak satu-satunya yang selama ini ia banggakan, anak yang selalu ia sanjung ketika arisan dengan ibu-ibu komplek, anak yang memiliki kecantikan secara lahiriah dan batiniah tega melukai perasaannya yang terdalam.
            Tanpa ampun, ayah langsung masuk kekamar Minah dan mengambil seluruh pakaian Minah lalu memasukkannya kedalam koper besar. Sang ayah keluar dari kamar dengan satu koper besar ditangan kanannya.
Braaaakkkk!!!
“Pergi kau dari rumah ini dan jangan pernah kembali!” Ucap ayahnya dengan lantang.
Minah terkejut melihat perlakuan ayahnya. Airmata terus mengalir di kedua pipinya.
“Yah, ampun Yah. Maafkan Minah...”
“Mulai sekarang KAU tidak ada lagi HUBUNGAN DARAH dengan KAMI!” sergah ayahnya seketika. Bagaikan tersengat listrik Minah menatap Ayahnya seolah tak percaya dengan perkataan Ayahnya. Tanpa basa-basi Minah diseret keluar rumah oleh sang Ayah.
Braaaakkkk!!!
Tok Tok Tok...
“Ayah, Ibu.... Maafkan Minah.” Tidak ada respon dari dalam.
Tok Tok Tok...
“Ayah, Ibu.... Tolong bukakan pintunya. Minah tau ini semua kesalahan Minah. Tapi Minah butuh Ayah sama Ibu...” dengan sesenggukan Minah mengusap airmatanya. Minah tidak tahu harus kemana. Apakah aku harus kerumah saudara ibu? Atau Ayah? Ah, pasti mereka tidak sudi menerimaku. Ini sudah malam, harus kemana aku pergi?
                                                                        ***
“Sudah berapa bulan?” Tanya Ita.
Minah menatap Ita dengan malu, “5 bulan, Ta.”
Tubuh Ita bagai tersengat listrik. “Apa kau bilang? Kandunganmu sudah berusia 5 bulan dan kedua orang tuamu tidak mengetahuinya?”
Minah hanya mengangguk pelan.
“Kau tidak bilang kepada mereka?” tanya Ita lagi.
“Kau tau jawabannya Ta.” jawabnya pelan.
Ita mendesah pelan, “Aaaah, seharusnya Kau bilang sama mereka, Minah. Mereka berhak tau sedari awal. Mungkin kesalahanmu adalah kau tidak jujur pada kedua orangtuamu. Mereka kecewa. Aduuuh, aku harus bilang apa lagi padamu. Lalu, mana lelaki yang telah menghamilimu itu?”
“Dia lari Ta. Ternyata dia tidak tulus mencintai aku. Huhuhuuuu...”
Ita mengusap pelan bahu Minah, “Sudahlah, semua sudah terjadi. Sebenarnya aku udah ada feeling kalau bakal ada kejadian seperti ini.”
Minah terkejut. Kepalanya tiba-tiba mendongak keatas. “Darimana?” tanyanya seakan tak percaya.
Ita tertawa pelan, “Minah, kau lupa atau pura-pura lupa? Aku juga pernah mengalami hal sepertimu. Bahkan saat aku duduk dibangku SMA tingkat dua. Lupakah?”
“Yah, Aku pernah merasakannya bagaimana perasaanmu saat ini. Bagaimana kecewanya Ayah dan Ibumu. Aku tau. Lagipula kita berteman bukan baru sekarang. Dari kecil Nah kita udah sama-sama.”
Minah menangis sesenggukkan. Ita langsung memeluk Minah dengan kehangatan.
“Tapi tapi, anak itu tidak pernah lahir dari rahimmu dan keluargamu masih menerimamu. Sedangkan aku? Huhuuhuhu...” jawabnya sambil terisak.
            Ita ingat sekali, saat itu ia masih duduk di bangku SMA tingkat dua. Ita yang berperawakan tinggi, langsing, manis, kulit kuning langsat dan berkepribadian menarik itu langsung menjadi primadona di sekolahnya. Banyak teman-teman prianya yang menyenangi dirinya. Anaknya ramah dan baik sekali. Tidak hanya teman pria yang sebaya saja yang menyenanginya, beberapa kakak kelasnya pun tak luput jua untuk menyukai dirinya. Ita merasa sangat tersanjung hanya saja ia tidak mau lupa daratan. Ia tetap memiliki falsafah hidup bahwa kecantikan tidaklah abadi, yang penting sikap dan kepribadian yang menariklah yang bisa mengubah segalanya. Namun ternyata, sikap dan pribadinyalah yang menjadi aktor utama yang justru menunjang kecantikan alaminya. Ita baru sadar saat salah seorang teman prianya yang mengatakan hal itu kepadanya. Dan ita hanya bisa tersenyum ketika mendengarnya.
            Hari-hari Ita disekolah sangat menyenangkan. Ita dapat berteman dengan siapa saja dan tetap menyenangkan. Sampai suatu ketika kehidupan ia berubah ketika datang salah seorang guru yang akan mengajar disekolahnya. Gunawan. Beliau adalah seorang guru muda yang menekuni bidang Matematika. Pelajaran yang sangat Ita gemari. Orangnya juga baik, supel dan ramah. Pastinya Pak Gunawan ini memiliki wajah yang tampan sehingga mampu memikat sejumlah siswi-siswi termasuk Ita. Baru kali ini ia merasakan hal yang lain dalam dirinya. Singkat cerita, ternyata Gunawan juga merasakan hal yang sama dengan Ita. Dan kejadian dimalam itu telah mengubah jalan hidup Ita yang awalnya indah menjadi kelam.
“Gun, gunawan. Bangun.....” Ita menggoyang-goyang tubuh Gunawan yang tergeletak disampingnya itu sambil berderai airmata.
            Tak ada reaksi dari Gunawan. Tubuhnya yang tergeletak tak berdaya dan berlumuran darah itu membuat Ita menangis ketakutan. Hal itu diperparah dengan kehadiran 4 orang pria yang tak ia kenal, berusaha meraihnya dan membawanya keruangan sebelah. Dan tanpa rasa belas kasihan, tubuh Ita telah berhasil dibasuh secara bergantian oleh keempat pria tersebut. Ita meronta, berusaha berteriak meminta pertolongan, namun apa daya ruangan itu kedap suara. Ita tak kuasa menahan kesakitan dan marah. Ia hanya bisa pasrah dan berharap ada malaikat yang akan menolongnya dan gunawan.
            Ketika keempat pria tersebut merasa sudah puas melakukan aksinya, mereka langsung membekap mulut Ita dan meninggalkan Ita dalam keadaan yang sangat tidak pantas untuk dilihat. Gunawan hanya bisa terdiam melihat keadaan Ita. Ia tidak mampu berbuat apapun karena dunia mereka telah berbeda.