Bukan
perkara mudah bagi seorang gadis seusia Minah untuk menghadapi segala peristiwa
yang telah ia lalui dalam setahun ini. Begitu banyak halangan dan rintangan
yang mesti ia lewati. Perjuangannya untuk mempertahankan janin dalam
kandungannya justru membuat ia terlempar dari kehidupannya yang dulu serba ada.
Ayah dan Ibunya tidak lagi mengakuinya sebagai anak. Tidak hanya kedua orang
tuanya yang tidak lagi mengakui dirinya, bahkan seluruh keluarga besarnya pun
turut andil mencampakkannya di jalanan. Bagi mereka tiada ampun untuk orang
yang telah mencemarkan nama baik keluarga mereka. Selain itu, masyarakat yang
mengetahui Minah tengah berbadan dua langsung menggunjing kesesama tetangga.
Saling menceritakan dan merendahkan. Tak urung masyarakat juga melakukan sikap
diskriminatif kepada Minah dengan cara anak-anak mereka tidak boleh berteman
lagi dengan Minah. Minah merasa seperti tiada lagi berharga. Tiada lagi
dukungan dari keluarga apalagi masyarakat. Baginya tidak masalah apabila
masyarakat memusuhinya atau menjauhinya, asalkan kedua orang tuanya menerima
dan membantunya dalam menghadapi situsai ini. Namun apa lacur, jangankan
mengharapkan bantuan dari mereka, untuk mendengar kejadian yang sebenarnya pun
mereka enggan. Minah langsung ditampar, dipukul bak maling dan diusir oleh
kedua orang tuanya sendiri. Minah merasa dirinya berada dalam titik nadir.
“Dasar Kau!
Anak tidak tau adat! Enyah kau dari rumahku!!!” bentak Sang Ayah sesaat setelah
memukulnya. Minah memohon ampun seraya berlutut dikaki ayahnya. Namun apa
lacur, sang Ayah langsung menghempaskan tangan Minah sehingga ia terjungkal ke
lantai.
“Ayah,
maafkan Minah...” lirihnya sembari mengusap buliran airmata yang jatuh
membasahi pipinya. Sesaat Minah menatap ibunya yang sesenggukan menangis berdiri
disamping Ayahnya.
“Bu,
Minah... Minah, maafkan Minah” Minah berlari memeluk ibunya namun sang ibu
langsung menangkis tangan Minah. Ibunya tidak sanggup berkata apa-apa. Baginya
harga diri sebagai seorang ibu telah hancur. Anak satu-satunya yang selama ini
ia banggakan, anak yang selalu ia sanjung ketika arisan dengan ibu-ibu komplek,
anak yang memiliki kecantikan secara lahiriah dan batiniah tega melukai
perasaannya yang terdalam.
Tanpa
ampun, ayah langsung masuk kekamar Minah dan mengambil seluruh pakaian Minah
lalu memasukkannya kedalam koper besar. Sang ayah keluar dari kamar dengan satu
koper besar ditangan kanannya.
Braaaakkkk!!!
“Pergi kau dari rumah ini dan jangan pernah kembali!” Ucap ayahnya dengan lantang.
“Pergi kau dari rumah ini dan jangan pernah kembali!” Ucap ayahnya dengan lantang.
Minah terkejut melihat perlakuan ayahnya. Airmata terus
mengalir di kedua pipinya.
“Yah, ampun Yah. Maafkan Minah...”
“Mulai sekarang KAU tidak ada lagi HUBUNGAN DARAH dengan KAMI!” sergah ayahnya seketika. Bagaikan tersengat listrik Minah menatap Ayahnya seolah tak percaya dengan perkataan Ayahnya. Tanpa basa-basi Minah diseret keluar rumah oleh sang Ayah.
“Mulai sekarang KAU tidak ada lagi HUBUNGAN DARAH dengan KAMI!” sergah ayahnya seketika. Bagaikan tersengat listrik Minah menatap Ayahnya seolah tak percaya dengan perkataan Ayahnya. Tanpa basa-basi Minah diseret keluar rumah oleh sang Ayah.
Braaaakkkk!!!
Tok Tok Tok...
“Ayah, Ibu.... Maafkan Minah.” Tidak ada respon dari dalam.
Tok Tok Tok...
“Ayah, Ibu.... Maafkan Minah.” Tidak ada respon dari dalam.
Tok Tok Tok...
“Ayah, Ibu.... Tolong bukakan pintunya. Minah tau ini semua
kesalahan Minah. Tapi Minah butuh Ayah sama Ibu...” dengan sesenggukan Minah
mengusap airmatanya. Minah tidak tahu harus kemana. Apakah aku harus kerumah
saudara ibu? Atau Ayah? Ah, pasti mereka tidak sudi menerimaku. Ini sudah
malam, harus kemana aku pergi?
***
“Sudah berapa bulan?” Tanya Ita.
Minah menatap Ita dengan malu, “5 bulan, Ta.”
Tubuh Ita bagai tersengat listrik. “Apa kau bilang?
Kandunganmu sudah berusia 5 bulan dan kedua orang tuamu tidak mengetahuinya?”
Minah hanya mengangguk pelan.
“Kau tidak bilang kepada mereka?” tanya Ita lagi.
“Kau tidak bilang kepada mereka?” tanya Ita lagi.
“Kau tau jawabannya Ta.” jawabnya pelan.
Ita mendesah pelan, “Aaaah, seharusnya Kau bilang sama mereka, Minah. Mereka berhak tau sedari awal. Mungkin kesalahanmu adalah kau tidak jujur pada kedua orangtuamu. Mereka kecewa. Aduuuh, aku harus bilang apa lagi padamu. Lalu, mana lelaki yang telah menghamilimu itu?”
“Dia lari Ta. Ternyata dia tidak tulus mencintai aku. Huhuhuuuu...”
Ita mengusap pelan bahu Minah, “Sudahlah, semua sudah terjadi. Sebenarnya aku udah ada feeling kalau bakal ada kejadian seperti ini.”
Minah terkejut. Kepalanya tiba-tiba mendongak keatas. “Darimana?” tanyanya seakan tak percaya.
Ita mendesah pelan, “Aaaah, seharusnya Kau bilang sama mereka, Minah. Mereka berhak tau sedari awal. Mungkin kesalahanmu adalah kau tidak jujur pada kedua orangtuamu. Mereka kecewa. Aduuuh, aku harus bilang apa lagi padamu. Lalu, mana lelaki yang telah menghamilimu itu?”
“Dia lari Ta. Ternyata dia tidak tulus mencintai aku. Huhuhuuuu...”
Ita mengusap pelan bahu Minah, “Sudahlah, semua sudah terjadi. Sebenarnya aku udah ada feeling kalau bakal ada kejadian seperti ini.”
Minah terkejut. Kepalanya tiba-tiba mendongak keatas. “Darimana?” tanyanya seakan tak percaya.
Ita tertawa pelan, “Minah, kau lupa atau pura-pura lupa? Aku
juga pernah mengalami hal sepertimu. Bahkan saat aku duduk dibangku SMA tingkat
dua. Lupakah?”
“Yah, Aku pernah merasakannya bagaimana perasaanmu saat ini.
Bagaimana kecewanya Ayah dan Ibumu. Aku tau. Lagipula kita berteman bukan baru
sekarang. Dari kecil Nah kita udah sama-sama.”
Minah menangis sesenggukkan. Ita langsung memeluk Minah
dengan kehangatan.
“Tapi tapi, anak itu tidak pernah lahir dari rahimmu dan
keluargamu masih menerimamu. Sedangkan aku? Huhuuhuhu...” jawabnya sambil
terisak.
Ita ingat
sekali, saat itu ia masih duduk di bangku SMA tingkat dua. Ita yang berperawakan
tinggi, langsing, manis, kulit kuning langsat dan berkepribadian menarik itu
langsung menjadi primadona di sekolahnya. Banyak teman-teman prianya yang
menyenangi dirinya. Anaknya ramah dan baik sekali. Tidak hanya teman pria yang
sebaya saja yang menyenanginya, beberapa kakak kelasnya pun tak luput jua untuk
menyukai dirinya. Ita merasa sangat tersanjung hanya saja ia tidak mau lupa
daratan. Ia tetap memiliki falsafah hidup bahwa kecantikan tidaklah abadi, yang
penting sikap dan kepribadian yang menariklah yang bisa mengubah segalanya.
Namun ternyata, sikap dan pribadinyalah yang menjadi aktor utama yang justru
menunjang kecantikan alaminya. Ita baru sadar saat salah seorang teman prianya
yang mengatakan hal itu kepadanya. Dan ita hanya bisa tersenyum ketika
mendengarnya.
Hari-hari
Ita disekolah sangat menyenangkan. Ita dapat berteman dengan siapa saja dan
tetap menyenangkan. Sampai suatu ketika kehidupan ia berubah ketika datang
salah seorang guru yang akan mengajar disekolahnya. Gunawan. Beliau adalah
seorang guru muda yang menekuni bidang Matematika. Pelajaran yang sangat Ita
gemari. Orangnya juga baik, supel dan ramah. Pastinya Pak Gunawan ini memiliki
wajah yang tampan sehingga mampu memikat sejumlah siswi-siswi termasuk Ita.
Baru kali ini ia merasakan hal yang lain dalam dirinya. Singkat cerita,
ternyata Gunawan juga merasakan hal yang sama dengan Ita. Dan kejadian dimalam
itu telah mengubah jalan hidup Ita yang awalnya indah menjadi kelam.
“Gun, gunawan. Bangun.....” Ita menggoyang-goyang tubuh Gunawan
yang tergeletak disampingnya itu sambil berderai airmata.
Tak ada
reaksi dari Gunawan. Tubuhnya yang tergeletak tak berdaya dan berlumuran darah
itu membuat Ita menangis ketakutan. Hal itu diperparah dengan kehadiran 4 orang
pria yang tak ia kenal, berusaha meraihnya dan membawanya keruangan sebelah.
Dan tanpa rasa belas kasihan, tubuh Ita telah berhasil dibasuh secara
bergantian oleh keempat pria tersebut. Ita meronta, berusaha berteriak meminta
pertolongan, namun apa daya ruangan itu kedap suara. Ita tak kuasa menahan
kesakitan dan marah. Ia hanya bisa pasrah dan berharap ada malaikat yang akan
menolongnya dan gunawan.
Ketika keempat
pria tersebut merasa sudah puas melakukan aksinya, mereka langsung membekap
mulut Ita dan meninggalkan Ita dalam keadaan yang sangat tidak pantas untuk
dilihat. Gunawan hanya bisa terdiam melihat keadaan Ita. Ia tidak mampu berbuat
apapun karena dunia mereka telah berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar